Kamis, 13 Juni 2013

Tata Cara Mandi Haid

RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:

“Tinggalkanlah shalat sekedar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu mandilah dan shalatlah.” (Shahih, HR. Bukhari no. 325)

Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau sebagaimana dikabarkan Aisyah bersabda:

“Ambillah secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya.” Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara aku bersuci dengannya?” Nabi menjawab: “Bersucilah dengannya.” Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah,
bersucilah.” Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut.” (Shahih, HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)

Atau lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia menuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya….” (Shahih, HR. Muslim no. 61)

Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya udzur.

Wallahu a’lam bishawwab.

Sumber: Majalah Syari’ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 58.
http://fadhlihsan.wordpress.com