Kamis, 13 Juni 2013

Tanya Jawab Seputar Masalah Haidh (Darah Wanita)

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menjawab beberapa permasalahan seputar haidh dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau. Berikut ini kami bawakan beberapa di antaranya.

Apa hukum cairan kuning yang keluar dari kemaluan wanita dua hari sebelum datang haidhnya?

Jawab:

Apabila cairan kuning itu keluar sebelum datangnya haidh maka sama sekali tidak dianggap, berdasarkan ucapan Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:

كُنَّا لاَ نَعُدُّ‏‎ ‎الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ شَيْئًا

“Kami dulunya sama sekali tidak memedulikan cairan kuning dan keruh.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat Abu Dawud:

كُنَّا لاَ نَعُدُّ‏‎ ‎الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ‏‎ ‎الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami dulunya sama sekali tidak memedulikan cairan kuning dan keruh (yang keluar dari kemaluan) setelah suci.”

Maka bila cairan kuning tersebut keluarnya sebelum haidh dan terpisah dari haidh, maka ia bukanlah haidh. Adapun bila si wanita tahu bahwa cairan kuning tersebut merupakan pendahuluan bagi haidhnya, maka si wanita meninggalkan shalat (yakni dihukumi haidh) sampai ia suci. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 11/280)

Apa hukum mencuci rambut (keramas) bagi wanita haidh, karena sebagian orang mengatakan tidak boleh?

Jawab:

Tidak apa-apa wanita haidh mencuci rambutnya. Tidak benar ucapan orang yang melarangnya, bahkan wanita haidh boleh mencuci rambutnya dan memandikan tubuhnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 11/288)

Ada seorang wanita yang kebiasaan haidhnya enam hari. Namun kemudian hari-hari haidhnya itu bertambah dari kebiasaannya. Bagaimana hukumnya?

Jawab:

Bila kebiasaan haidh si wanita adalah enam hari, kemudian suatu ketika bertambah/lebih dari enam hari, menjadi sembilan atau sepuluh hari atau sebelas hari misalnya, maka ia tidak boleh mengerjakan shalat sampai ia suci dari darah haidhnya. Karena dulunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan batasan tertentu lamanya haidh yang dialami wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ‏‎ ‎قُلْ هُوَ أَذًى

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, maka katakanlah, “Haidh itu adalah kotoran/najis.” (Al-Baqarah: 222)

Dengan demikian, selama darah haidh itu masih ada maka si wanita tetap dihukumi haidh/belum suci sampai ia benar-benar suci, yang dengan itu ia mandi dan boleh mengerjakan shalat. Bila di bulan berikutnya masa haidhnya kurang dari bulan yang lalu maka ia mandi apabila telah suci, walaupun lama haidhnya tidak seperti bulan sebelumnya.

Yang penting, bila darah haidh keluar dari seorang wanita maka ia tidak shalat, sama saja apakah masanya sesuai dengan kebiasaannya yang telah lalu, bertambah ataupun berkurang. Jika ia telah suci, tidak tampak darah haidh bersamanya, maka ia shalat (setelah mandi haidh). (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 11/277)

Ada seorang wanita yang datang kebiasaan bulanannya. Beberapa waktu kemudian ia suci dan mandi. Setelah mengerjakan shalat selama sembilan hari (yakni sembilan hari kemudian), keluar lagi darahnya sehingga ia sampai meninggalkan shalat selama tiga hari. Setelahnya ia suci selama sebelas hari dan mengerjakan shalat. Setelah itu datang lagi kebiasaan bulanannya pada hari-hari yang memang biasa datang. Yang menjadi pertanyaan, apakah ia harus mengganti shalat yang ia tinggalkan selama tiga hari tersebut, ataukah ia menganggap dirinya haidh di waktu tersebut?

Jawab:

Yang namanya haidh, kapan ia datang berarti haidh, baik lebih lama waktunya dengan haidh sebelumnya ataupun lebih singkat. Bila ia haidh dan kemudian suci, namun setelah lima atau enam hari ataupun sepuluh hari datang lagi kebiasaan bulanannya untuk kali yang kedua, maka si wanita menahan dirinya tidak mengerjakan shalat, karena darah yang keluar tersebut adalah darah haidh. Demikian seterusnya. Setiap kali dia suci, kemudian datang haidh maka ia wajib menahan diri dari shalat.

Namun jika darah tersebut keluar terus-menerus, tidak berhenti, ataupun berhenti namun cuma sebentar, berarti ia mengalami istihadhah. Ketika ini, ia tidak menahan diri dari shalat kecuali di waktu kebiasaan haidhnya saja. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 11/278)

Seorang wanita pernah menjalani operasi dan setelahnya keluar darah berwarna hitam dari kemaluannya yang bukan darah kebiasaan bulanannya karena keluarnya empat atau lima hari sebelum kebiasaan bulanannya. Setelah keluar darah berwarna hitam tersebut, secara langsung (beberapa hari kemudian) datang kebiasaan bulanannya selama tujuh hari. Apakah hari-hari saat keluarnya darah berwarna hitam tersebut terhitung masa haidh?

Jawab:

Yang menjadi rujukan dalam hal ini adalah para dokter. Karena secara zhahir, darah yang keluar dari si wanita adalah karena operasi. Sementara darah yang demikian tidaklah dihukumi seperti hukum haidh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita shahabiyah yang mengalami istihadhah:

إِنَّ ذَلِكِ دَمُ عِرْقٍ

“Sungguh itu adalah darah dari urat (bukan haidh).” (HR. Al-Bukhari)

Dalam hal ini ada isyarat, bila darah yang keluar itu darah dari urat –termasuk di dalamnya darah yang keluar karena operasi– maka tidaklah teranggap haidh, sehingga tidak diharamkan bagi si wanita hal-hal yang diharamkan karena haidh. Dia tetap wajib shalat dan puasa, bila hal itu dialami di siang hari Ramadhan. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 11/277)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=918
http://fadhlihsan.wordpress.com