Kamis, 13 Juni 2013

Berbagai Macam Kejadian Haid

Pertama, masanya bertambah atau berkurang. Misalnya, seorang wanita biasa mengalami haid enam hari, kemudian darahnya tetap keluar hingga tujuh hari. Atau seorang wanita memiliki masa haid tujuh hari, kemudian haidnya berhenti pada hari keenam.

Kedua, keterlambatan datangnya masa haid, atau kedatangannya yang terlalu cepat. Misalnya seorang wanita biasa mengalami haid di akhir bulan, namun suatu saat dia mengalaminya pada awal bulan. Atau sebaliknya.

Para ulama berbeda pendapat tentang dua kasus di atas. Yang jelas bahwa kapan saja seorang wanita melihat adanya darah yang keluar, maka dia dalam keadaan haid. Kapan saja dia berhenti dari haid tersebut, maka dia pun kembali suci. Tak peduli waktunya bertambah dari kebiasaannya atau justru berkurang. Baik itu terjadi di awal bulan atau di akhirnya. Demikianlah madzhab Imam Syafi’i dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan didukung oleh penulis kitab Al-Mughni (Ibnu Qudamah).

Ketiga, darah yang berwarna kuning dan keruh, sehingga terlihat berwarna kuning seperti air yang keluar dari luka, atau warnanya keruh kuning kehitaman.

Jika yang demikian itu dijumpai oleh wanita dalam kondisi haid atau bersambung dengan masa haid yang sudah habis sebelum wanita itu suci, maka darah tersebut masih tergolong darah haid dan hukumnya juga termasuk hukum haid. Namun jika darah tersebut keluar setelah wanita itu suci, maka darah itu bukanlah darah haid sebagaimana dijelaskan oleh Ummu Athiyyah radhiyallohu anha, “Dulu kami tidak menganggap darah kuning dan keruh sebagai haid, setelah kami suci dari haid.” (HR. Abu Dawud, Shohih)

Imam Bukhori juga meriwayatkan hadits ini namun tanpa lafadz “setelah kami suci”, dan mencantumkannya dalam bab “Darah yang berwarna Kuning dan Keruh di Luar Masa Haid”.

Dalam Fathul Bari dijelaskan, keterangan beliau tersebut menunjukkan korelasi antara hadits ‘Aisyah dengan hadits Ummu Athiyyah, dimana hadits ‘Aisyah ditafsirkan apabila seorang wanita melihat darah berwarna kuning dan keruh itu pada masa haid. Sementara hadits Ummu Athiyyah ditafsirkan jika darah tersebut muncul setelah masa suci.

Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhori secara mu’allaq akan tetapi dengan lafal pasti, “Suatu saat para wanita datang dengan membawa darjah (yakni sesuatu yang digunakan wanita untuk mengecek darah haid mereka, apakah masih tersisa), di dalamnya terdapat kursuf (kapas) yang masih terdapat darah kuning, maka ‘Aisyah berkata, ‘Janganlah kalian terburu-buru merasa sudah suci dari haid, sebelum kalian melihat qishshotul baidho’ (terbebas betul dari darah haid)’.”

Qishshotul baidho’ adalah air bening yang keluar dari dalam rahim. Keluarnya air tersebut adalah saat berhentinya dari haid.

Keempat, darah haid yang terputus-putus. Pada suatu hari dia melihat darah dan pada hari berikutnya darah tersebut sudah berhenti. Dalam hal ini bisa terdapat dua kondisi berbeda.

Kondisi pertama, apabila seorang wanita mengalaminya terus menerus pada setiap waktu, maka itu adalah darah istihadhoh. Bagi orang yang meyakininya sebagai istihadhoh, maka hukumnya juga hukum istihadhoh.

Kondisi kedua, kondisi tersebut tidak terus menerus dialami oleh seorang wanita, hanya dialaminya sesekali saja sementara dia mengalami masa suci yang tepat. Para ulama berbeda pendapat dalam perkara suci yang demikian. Apakah dia tergolong suci atau masih dalam hukum haid?

Adapun madzhab Syafi’i di antara dua pendapat yang paling shohih adalah bahwa karena darah itu masih bawaan darah haid, maka hukumnya juga hukum haid. Pendapat ini juga yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Sementara Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata, “Maka dalam hal ini darah yang berhenti kurang dari satu hari tidak bisa disebut suci. Kecuali jika seorang wanita melihat tanda sucinya, seperti berhentinya darah haid tersebut pada akhir masa haid menurut kebiasaannya, atau dia melihat qishshotul baidho’.”

Kelima, darah yang mengering, yakni ketika seorang wanita melihat cairan putih saja. Apabila cairan itu muncul dalam kondisi haid atau datang sesudahnya atau sebelumnya secara langsung, maka itu adalah haid. Namun jika munculnya setelah seorang wanita suci, maka itu bukanlah haid. Hukumnya hanya bisa disamakan dengan darah kuning dan keruh, wallohu a’lam.

[Dikutip dari kitab “Risalah fid Dima’ ath-Thobi’iyyah lin Nisaa’” karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin]

Sumber: http://ummfulanah.wordpress.com/2009/08/14/berbagai-macam-kejadian-haid/