Dalam pembahasan ini, kita akab menengok beberapa kitab Syi’ah yang menjadi sandaran mereka dalam beragama, agar kita mengetahui seberapa jauh kedudukan kitab-kitab hadits andalan mereka dibandingkan kitab-kitab ahlus-sunnah, terkhusus Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Dalam agama Syi’ah, diantara sekian banyak kitab-kitab Syi’ah yang ditulis oleh para ulama mereka, ada empat kitab referensi yang merupakan referensi tersebutdalam madzhab mereka baik dari pengamalan akidah maupun syari’ah. Empat kitab tersebut adalah:
Pertama: Kitab “Al-Kafi”, yang ditulis oleh Al-Kulaini, Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq.
Kedua: Tahdzib Al-Ahkam, karangan Abu Ja’far At-Thusi, Muhammad bin Hasan bin ‘Ali.
Ketiga: Al-Istibshar, juga dikarang oleh At-Thusi.
Keempat: Man La Yadhuruhul Faqih, oleh Ibnu Babawaih Al-Qummi, Abu Ja’far, Muhammad bin Ali bin Husain bin Musa.
Keempat kitab ini dinyatakan oleh Syi’ah Rafidhah sebagai empat kitab yang paling mulia. Untuk mengkaji seluruh isi kitab-kitab ini, tentunya akan memakan waktu yang sangat panjang. Namun kita akan menilik salah satu dari empat kitab tersebut, yaitu kitab yang dianggap paling shahih dari keempatnya menurut anggapan mereka, yaitu kitab: “Al-Kafi” oleh Al-Kulaini.
Salah satu referensi terbesar Syi’ah, yang menampakkan kebenciannya terhadap ahlussunnah dalam tulisan-tulisannya, Abdul Husain(1) Syafruddin Al-Musawi, dalam kitabnya “Al-Muraja’at” mengatakan,
“Yang terbaik yang dikumpulkan dari (riwayat) adalah empat kitab yang menjadi referensi (Syi’ah) Imamiyah dalam ushul dan furu’nya, dari zaman pertama hingga zaman kini yaitu Al-Kafi, At-Tabshir, Al-Istibshar, dan Man La Yadhuruhul Fqih. Riwayatnya mutawatir dan kandungannya dipastikan keshahihannya. Dan Al-Kafi yang tertua, termulia, terbaik, dan yang paling teliti.” (2)
Al-Kasyani menyatakan: Al-Kafi yang paling menjelaskan, paling mulia, paling terpercaya, paling sempurna, dan paling mencakup.(3)”
Al-Majlisi menyatakan, “Kitab ¬Al-Kafi paling teliti ushul-nya, paling mencakup, paling baik dari kitab-kitab tentang golongan selamat dan paling agung.(4)”
Banyak lagi pujian para ulama mereka terhadap kitab ini, seperti Ali bin Akbar Al-Ghifari, salah seorang pen-tahqiq kitab Al-Kafi, At-Thabarasi, Al-Hurr Al-Amilii, Abbas Al-Qummi, Muhammad Amin Al-Istrabadi, dan yang lainnya. Bahkan Al-Kulaini sendiri menyifatkan kitabnya sebagai kitab yang mengandung hadits-hadits shahih dari orang-orang yang jujur.(5)
Dari sini kita tahu bahwa kitab Al-Kafi adalah kitab yang paling diagungkan syi’ah, paling shahih (menurut mereka) dan merupakan referensi utama, sebagaimana yang kita saksikan dari para ulama’ mereka. walaupun tidak dinamakan dengan shahih.
Setelah itu, kami mengajak para pembaca untuk melihat para perawi (periwayat) yang menjadi sandaran riwayat-riwayat Al-Kafi, lalu kita timbang berdasarkan kacamata Al-Jarh wat-ta’dil. Berikut ini sebagian nama-nama para perawi mereka:
1) ZURARAH BIN A’YAN BIN SANSAN, ABUL HASAN
Dia adalah seorang perawi yang jalur riwayatnya banyak terdapat dalam kitab Al-Kafi. Abu Ja’far At-Thusi berkata, “Namanya Abdu Rabbihi, diberi kunyah Abul Hasan, Zurarah adalah gelarnya.” Tanpa menukilkan pendapat ahlus sunnah tentang orang ini, akan kami nukilkan dari kitab mereka sendiri yang menjelaskan siapa Zurarah.
Al-Kisysyi telah meriwayatkan dalam kitab Rijal-nya bahwa tatkala salah seorang bertanya kepada Al-Imam Ash-Shadiq, “Kapan pertemuan terakhirmu dengan Zurarah? Beliau menjawab, “Aku tidak melihatnya semenjak beberapa hari (lalu). Lalu berkata (Ash-Shadiq), “Jangan engkau memperdulikannya, bila dia sakit maka jangan engkau menjenguknya, apabila dia mati maka jangan engkau menghadiri jenazahnya.”
(sang penanya) bertanya, “Zurarah?”, sambil terheran-heran atas apa yang diucapkan oleh Ash-Shadiq. Beliau menjawab, “Iya, Zurarah. Zurarah lebih jahat dari yahudi dan Nashara, dan dari orang yang mengatakan: Sesungguhnya Allah adalah satu di antara tiga.” (6)
Lihatlah hukum yang diberikan oleh Imam Ash-Shadiq rahimahullah terhadap seorang perawi yang dianggap kaum Syi’ah: Tsiqah. Bukankah Ash-Shadiq ma’shum menurut madzhab Syi’ah? Apa yang diucapkannya dipastikan kebenarannya menurut kalian, mengapa kalian tidak menerima jarh (celaan) beliau terhadap Zurarah yang kalian anggap tsiqah?
Al-Kisysyi juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Masma’ bin Karwin berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (Ja’far Ash-Shadiq, pen) alaihis salaam berkata:
“Semoga Allah melaknat Barid dan semoga Allah melaknat Zurarah”. (7)
Juga disebutkan Al-Kisysyi dalam Rijal-nya dengan sanadnya sampai kepada Laits berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah ‘alaihis salaam berkata:
“Tidak akan mati Zurarah keceuali dalam keadaan sesat.” (8)
Inna lillahi wainna ilaihi raji’un! “Selamat” bagi kaum yang mempercayai seorang perawi yang dengan penuh ketegaran jiwa telah dibenci, dicaci, dan bahkan dilaknat oleh cucunda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Benarlah seorang yang mengatakan:
إن كان هذا ثقة فالكلب لا شك ثقتي
Kalau orang seperti dia seorang yang terpercaya
Maka tiada diragukan lagi bahwa anjing adalah kepercayaanku.
Disebutkan pula oleh Al-Kisysyi bahwa Zurarah adalah seorang yang pernah mencaci Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah, dan mengatakan tentangnya, “Dia tidak akan beruntung selama-lamanya.” (9)
Ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang nashibi, pembenci ahlul bait. Kalau bukan karena khawatir terlalu panjang, akan saya paparkan seluruh riwayat dari Ash-Shadiq rahimahullah tentang Zurarah, dan celaannya terhadap ahlul bait, keluarga Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun apa yang kami sebutkan, sudah cukup mewakili yang lainnya.
2) SALIM BIN QAIS AL-HILALI
Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi berkata tentang kitab milik Salim bin Qais:
“Tidak ada perselisihan di antara seluruh kaum Syi’ah dari yang membawa ilmu ataupun yang meriwayatkannya dari para imam bahwa kitab Salim bin Qais Al-Hilali adalah inti dari kitab-kitab usul yang diriwayatkan ahli ilmu dan para pembawa berita ahlul bait dan yang paling tua (umurnya), dia termasuk dari ushul yang kaum Syi’ah merujuk kepadanya dan menjadilkannya sebagai sandaran….” (10)
Apa yang dikatakannya adalah bohong belaka, bahkan kitab ini telah dicerca oleh sebagian ulama dari kalangan Syi’ah sendiri.
As-Sayyid Hasyim Ma’ruf Al-Husaini tatkala memberikan komentar terhadap riwayat yang pada sanadnya terdapat Salim bin Qais, menyatakan,
“Cukuplah riwayat ini sebagai celaan bahwasanya ini adalah riwayat milik Salim bin Qais dan dia termasuk orang yang tidak jelas dan tertuduh berdusta”
Al-Mufid mengatakan,
“Kitab ini tidak terpercaya, mayoritasnya tidak boleh diamalkan, telah terjadi pencampur adukan dan pentadlisan padanya.”
Ibnul Ghadha’iri mengatakan,
“Lemah, dia tidak dihiraukan (riwayatnya)”
Disebutkan oleh Al-Hurr Al-Amili bahwa sebagian ulama menghukumi palsunya kitab Salim bin Qais, dan ini saja sudah cukup untuk menjatuhkan kitab yang dijadikan marji’ oleh Abdul Husain ini. (11)
3. HISYAM BIN AL-HAKAM
Salah seorang perawi andalan Syi’ah, padahal dia seorang ahlul bid’ah, Mujassim, yaitu menyatakan bahwa Allah Azza Wajalla memiliki jasmani. Padahal Allah Azza Wajalla berfirman:
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
“Tidak ada satupun yang menyerupai Allah dan Dia adalah Maha mendengar dan Maha melihat” (12)
Telah diriwayatkan oleh Al-Kulaini dalam “Al-Ushul minal Kafi” (1/106) dengan sanadnya. Hasan bin Abdurrahman Al-Hammani berkata, “Aku berkata kepada Abul Hasan Musa bin Ja’far ‘alaihis salam, “Sesungguhnya Hisyam bin Al-Hakam menyangka bahwa Allah memiliki jasmani, tidak ada yang menyerupai-Nya dengan sesuatu apapun, mendengar, melihat, mampu, berbicara, pembicaraan, kekuatan, ilmu, beredar, menyatu, tidak satupun dari makhluk.” Maka (Musa bin Ja’far) menjawab, “Semoga Allah memeranginya, apakah dia tidak tahu bahwa jasmani itu terbatas, dan pembicaraan bukan sang pembicara, aku berlindung kepada Allah. Aku berlindung kepada Allah dari perkataan ini…”
Lihat pula dalam Al-Kafi (1/105), dan yang lainnya.
Lihatlah, mereka mencela Ahlus Sunnah meriwayatkan dari ahlul bid’ah, sementara
kitab andalan mereka sendiri dipenuhi oleh para pendusta dari kalangan ahli bid’ah, bahkan (dipenuhi dengan) orang-orang kafir. Wailallahil musytakaa.
4. AL-MUFADHDHAL BIN UMAR AL-JU’FI
Dia termasuk perawi yang terpuji menurut Abu Ja’far Ath-Thusi.
Telah diriwayatkan oleh Al-Kisysyi dari Hammad bin Utsman berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah alaihissalam berkata kepada Mufadhdhal bin Umar Al-Ju’fi:
“Wahai Kafir, wahai musyrik”
Dari Ismail bin Jabir berkata, “Abu Abdillah mengatakan, “Datangilah Al-Mufadhdhal dan katakan padanya, “Wahai kafir, wahai musyrik, apa yang kau inginkan dari anakku, kamu ingin membunuhnya…” (13)
Inna lillahiwainna ilaihi raji’un. Selamat! Bagi kaum yang mengambil agamanya dari orang yang telah dinyatakan oleh imam mereka: Hai kafir, hai musyrik.
5. ABU BASHIR LAITS BIN AL-BUKHTURI AL-MURADI
Perawi ini dianggap oleh Abdul-Husein –dalam kitab sesatnya “Al-Muraja’at” sebagai perawi yang handal yang telah mendapatkan kemenangan dengan pelayanannya terhadap dua imam: Al-Baqir dan Ash-Shadiq.
Mari kitab bandingkan dengan riwayat yang disebutkan oleh Al-Kisysyi dengan sanadnya sampai kepada Syu’aib bin Ya’qub dia berkata, “Aku bertanya kepada Abul Hasan alaihis salam tentang seseorang yang menikahi seorang wanita sementara si wanita memiliki suami dan tidak diketahui oleh pihak lelaki? Beliau menjawab, “Di rajam siwanita dan dikenakan hukum atas si lelaki bila dia tidak mengetahui.” Akupun menyampaikan fatwa ini kepada Abu Bashir Al-Muradi, lalu (dia) berkata: Ja’far telah berkata kepadaku –demi Allah- bahwa dirajam si wanita dan dikenakan hukum cambuk bagi lelaki. Lalu dia mengatakan dalam keadaan tangannya di atas dadanya, “Aku mengira teman kita ini (Abul Hasan, pen) tidak sempurna ilmumnya” (14)
Diriwayatkan juga dari Syu’aib Al-‘Aqarquri berkata, “Dahulu aku berada di dekat Abu Abdillah alaihissalam (Ja’far Ash-Shadiq, pen) sedang kami bersama Abu Bashir dan beberapa orang dari penduduk gunung, mereka bertanya kepadanya (Ja’far Ash-Shadiq) tentng hukuman sembelihan Ahli Kitab? Abu Abdillah alaihissalam menjawab mereka, “Bukankah kalian telah mendengar apa yang difirmankan Allah Azza Wajalla? Mereka menjawab, “Jangan kalian memakannya.
Tatkala kami telah keluar, Abu Bashir berkata, “Semua yang ada padanya ada dileherku (bahwa dia telah menghafalnya, pen), sungguh aku telah mendengarnya dan mendengar ayahnya, kedua-keduanya memerintahkan untuk memakannya (sembelihan Ahli Kitab, pen). Kamipun kembali kepada Abu Abdillah dan Abu Bashir berkata kepadaku,” Tanyailah!” Aku bertanya, “Apa yang engkau katakan tentang sesembelihan Ahli Kitab?” beliau menjawab, “Bukankah engkau telah hadir dipagi hari dan telah engkau dengar? “ Aku menjawab, “Iya.” Beliau mengatakan, “Maka jangan kamu memakannya.” (15)
Perhatikanlah apa yang diperbuat oleh Abu Bashir dalam mempertentangkan perkataan di antara para imam? Juga, berani berdusta dengan mengatasnamakan Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah?
___________________
Footnote
(1) Nama Abdul Husain ditinjau dari hukum syar’i adalah nama yang tidak benar, karena mengandung penghambaan terhadap selain Allah subhanahu wata’ala. Semestinya, jika seseorang memiliki nama, menghambakan dirinya kepada Allah, tidak kepada selainnya. Seperti Abdullah, Abdurrahman, dan yang semisalnya. Bahkan perkara ini bukan hanya disebutkan dalam kitab Ahlus sunnah, namun juga disebutkan dalam referensi Syi’ah, sebagaimana yang disebutkan Al Kulaini dengan sanadnya dari Fulan bin Humaid bahwa dia bertanya kepada Abu Abdillah rahimahullah sambil meminta saran tentang pemberian nama anaknya, maka beliau menjawab: “Beri nama dengan nama penghambaan”. Ia bertanya: “Nama apa itu?”. Beliau menjawab: “Abdurrahman”. Diriwayatkan juga dari Al Kulaini dari Abu Ja’far rahimahullah berkata: “Nama yang paling benar adalah yang diberi penghambaan, dan yang paling afdhal adalah nama-nama para nabi. Al Majlisi ketika mengomentari riwayat ini mengatakan: “Makna “penghambaan” adalah penghambaan kepada Allah, bukan Abduh Nabi (hamba Nabi) dan Abdu Ali (hamba Ali) dan yang semisalnya. Perinciannya disebutkan dalam kitab Mir’atul ‘Uqul fi Syarhi Akhbar Ala Ar-Rasul: 21/31. lihat kitab Al-Burhan fi Tabri’ati Abi Hurairah minal Buhtan: 1/7-8
(2) Al-Muraja’at: 110
(3) Muqaddimah Al-Muhaqqiq kitab Al-Kafi: 9
(4) Mir’atul Al-‘Uqul: 1/3
(5) lihat Muqaddimah Al-Kafi, Al-Kulaini: 7
(6) Lihat Rijal Asy-Syi’ah fil Mizan, Aburrahman Az-Zar’i:8
(7) Rijal Asy-Syi’ah: 9. yang dimaksud Barid di sini adalah Barid bin Muawiyah Al-Ijli, salah seorang perawi yang juga mereka anggap tsiqah.
(8) Rijal Kisysyi: 149, Tanqih al-Maqul: 1/443
(9) Riwayat panjang dalam Rijal Al-Kisysyi: 159
(10) Kitab Al-Muraja’at: 307, menukil dari Raudhatul Jannat dan Rijal Asy-Syi’ah: 17
(11) Lihat kitab: Rijal Asy-Syi’ah: 17. Al-Qanat:5.
(12) QS. Asy-Syura:12
(13) Rijal Asy-Syi’ah, Az-Zar’i:39
(14) Rijal Asy-Syi’ah: 23
(15) Rijal Asy-Syi’ah: 24
Dinukil dari: Al-Qaulush-Sharih fi Raddi ‘ala Munkiril Hadits Ash-Shahih/ Meluruskan Pemahaman tentang Hadits Sihir
Oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al Bugisi hafizhahullah
Studi kritis buku: Benarkah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam Pernah (Tersihir? )
Hal: 173-176, dengan sedikit tambahan.
Sumber : http://haulasyiah.wordpress.com/